STUNTING bisa dicegah!

Mengacu pada standar WHO, suatu daerah dikatakan baik jika prevalensi balita stunting kurang dari 20% dan prevalensi balita kurus kurang dari 5%. Bagaimana dengan prevalensi stunting di Indonesia? Apa yang dimaksud dengan stunting? Apa yang menyebabkan anak mengalami stunting? Kenapa stunting HARUS ditanggulangi? Semua pertanyaan akan dibahas dalam artikel ini. Terminologi stunting dalam Buku Saku Pemantauan Status Gizi (PSG) Tahun 2017 yang diterbitkan Kementrian Kesehatan berarti “pendek” (nilai standar deviasi tinggi badan menurut umur -2 s/d -3) dan “sangat pendek” (nilai standar deviasi tinggi badan menurut umur <-3). Orangtua bisa bisa melihat status stunting dari Kepurusan Menteri Kesehatan RI No: 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak atau bisa juga melalui aplikasi antropometri. Data dari Buku Saku PSG Tahun 2017 menyatakan bahwa prevalensi stunting pada balita masih diangka 29,6% dan pada bayi 20,1%. Tingginnya prevalensi stunting mengindikasikan bahwa sangat perlu adanya upaya preventif dan penanganan stunting diawal kehidupan.

Masalah utama terjadinya stunting adalah ketidakcukupan asupan makan saat pemulihan setelah keadaan sakit. Pada saat pemulihan, anak membutuhkan asupan yang lebih banyak dari kebutuhan saat ia sehat. Selain itu, masih banyak faktor lain yang menyebabkan terjadinya stunting. Faktor-faktor tersebut antara lain keluarga yang memiliki sosial dan ekonomi yang miskin (WHO 2010); interaksi ibu dan anak semenjak kehamilan yang kurang baik (Alive and Thrive 2010); pemberian air susu ibu (ASI) dan makanan pendamping ASI yang tidak cukup, gangguan absorpsi, atau kombinasi ketiganya (WHO 2001); praktek pemberian makanan yang tidak tepat, dan penyakit/infeksi (Bhutta et al. 2008); serta gangguan hormon, genetik, dan metabolisme (Cowin & Raton 2001).

Masalah stunting banyak didapatkan di negara berkembang dan negara miskin karena di negara berkembang masih memiliki masalah dasar yaitu masalah perekonomian dan lingkungan yang tidak higienis. Lingkungan yang tidak higienis dapat disebabkan oleh banyak faktor yaitu polusi udara dan air yang dapat meningkatkan kejadian infeksi, air yang terkontaminasi, makanan yang berjamur dan mengandung toksin bakteri dapat berimplikasi pada beberapa aspek, salah satunya masalah gizi stunting. Sebelum beranjak ke pembahasan lebih jauh, mari kita pahami kata stunting dan stunted. Stunting merupakan proses dinamis, sehingga keadaan tersebut dapat diperbaiki. Sedangkan stunted merupakan hasil dari stunting yang gagal mencapai catch-up growth, sehingga stunted dapat dikatakan sebagai chronic malnutrition. Menurut Andrew J. Prendergast dan Jean H. Humphrey dalam jurnalnya yang berjudul The Stunting Syndrome in Developing Countries menyatakan bahwa stunting memiliki konsekuensi, yaitu:

  1. Jangka pendek: peningkatan morbiditas (sakit). Anak yang stunting memilki risiko 6 kali lipat untuk mengalami diare, dan memiliki risiko 3 kali lipat untuk menderita penyakit infeksi. Hal tersebut dikarenakan terdapat perubahan integritas mukosa pada usus sehingga mempengaruhi absorbs (penyerapan) zat gizi makro maupun mikro. Selain itu, juga terjadi penurunan imunitas.
  2. Jangka menengah: penurunan kognitif (kecerdasan). Terdapat dua hipotesis yang masih dalam penelitian, yaitu terjadi kerusakan pada proses mielinisasi atau terjadi proliferasi sinapsis, dan terjadi inflamasi pada neuron (sel syaraf). Orang yang stunting mengalami penurunan IQ sebesar 10-15 point (World bank 2006).       
  3. Jangka panjang: buruknya status kesehatan dan rendahnya status sosial-ekonomi. Hal ini dikarenakan orang stunted akan mengalami produktivitas yang lebih rendah dibandingkan dengan orang normal. Orang dewasa yang stunting akan berisiko kehilangan produktivitas kerja sekitar 1.4% (World bank 2006).

Karena dampak stunted dapat merugikan individu maupun negara, maka sangat penting untuk dilakukan upaya penanganan (treatment) dan pencegahan (preventive) stunting. Stunting dapat ditangani di tiga periode, yaitu periode 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), balita, dan pubertas. Periode paling efektif untuk menangani dan mencegah stunting adalah pada 1000 HPK karena didalam 1000 HPK terdapat pertumbuhan yang irreversible (tidak dapat dikembalikan), yaitu pertumbuhan syaraf otak. Oleh karena itu 1000 HPK juga disebut dengan window of opportunity. 1000 HPK dimulai dari masa konsepsi (kehamilan) sampai dengan anak usia 2 tahun. Menurut Michael H. Golden dalam jurnalnya yang berjudul Proposed Recommended Nutrient Densities for Moderately Malnourished Children mengatakan bahwa anak dibawah 1 tahun dapat meningkatkan skor standar deviasi (SD) dalam waktu 2-4 minggu. Anak 6 bulan yang memiliki skor -3SD dapat kembali ke tinggi badan normal (skor SD = 0) dalam waktu 6 minggu. Sedangkan anak diatas 1-2 tahun dapat mencapai catch-up growth 1 skor SD dalam waktu 4-8 minggu dan akan mencapai catch-up growth secara sempurna dalam waktu 2 bulan.

Tentu saja catch-up growth tidak akan diperoleh jika tidak didukung dengan asupan yang adekuat. Adapun bentuk dukungan untuk menangani kondisi stunting adalah sebagai berkut:

  1. Status gizi ibu hamil sangat berpengaruh terhadap bayi yang akan dilahirkan. Ibu hamil stunted dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) rendah dan pertambahan berat badan yang rendah saat hamil memiliki risiko melahirkan bayi BBLR (kurang dari 2,5 kg). Bayi BBLR yang dikarenakan lahir prematur, bentuknya terlalu kecil/ small for gestational age, atau keduanya memiliki risiko stunting. Karena kondisi bayi yang lahir tergatung dari zat gizi ibu, maka status gizi ibu perlu dipersiapkan sebelum kehamilan (prenatal nutrition). Suplementasi zat besi (Fe) saat hamil dapat menurunkan kejadian BBLR sebesar 20% dan suplementasi kalsium saat hamil dapat meningkatkan berat lahir bayi sebesar 85 g. Dalam hal ini, ibu hamil harus berhati-hati dalam mengonsumsi suplemen, sehingga ibu hamil dianjurkan untuk rutin melakukan periksa kehamilan (antenatal care).
  2. Tidak asing lagi dengan istilah ASI Eksklusif. Hanya dengan ASI, kebutuhan bayi sampai usia 6 bulan dapat terpenuhi. Oleh karena itu, anjuran ASI eksklusif sampai bayi berumur 6 bulan. Menurut Kathyrn Dewey dalam jurnal Guiding Principles for Complementary Feeding of the Breastfed (PAHO and WHO) mengatakan bahwa pemberian makanan pelengkap (complementary food) pada bayi dibawah 6 bulan tidak akan berefek pada tinggi badan bayi. Durasi menyusui setidaknya 15 menit sehingga bayi mendapatkan hindmilk (susu yang banyak mengandung lemak). Adapun frekuensi menyusui setidaknya 8-12 kali (saat bayi merasa lapar).
  3. Setelah umur 6 bulan, ASI hanya memberikan 60-70% dari kebutuhan, sehingga bayi memerlukan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Selama pemberian MP-ASI, bayi tetap diberikan ASI. Adapun tambahan energi yang diberikan pada bayi usia 6-8 minggu sebesar 200 kkal/hari, usia 9-11 bulan sebesar 300 kkal/hari, dan usia 12-23 bulan diberikan tambahan energi sebesar 550 kkal/hari. Berikut anjuran untuk menangani balita stunting:
  1. Memberikan balita makanan baik dari sumber nabati maupun hewani yang memiliki bioavabilitas tinggi (note: sumber nabati saja tidak cukup memenuhi kebutuhan zat gizi mikro anak). Contoh: makanan yang difermentasi, daging).
  2. Persentase lemak sebesar 30-45% dari total energi (jika anak masih diiberikan ASI, maka persentase lemak yang diberikan dalam bentuk makanan adalah persentase setelah dikurangi ASI).
  3. Tidak memberikan makanan dapat menghambat penyerapan makanan di usus. Contohnya adalah makanan yang mengandung tinggi  serat, fitat, tanin, polifenol.
  4. Tidak memberikan minuman bersoda atau yang mengandung gula tinggi karena dapat menurunkan selera makan anak.
  5. Menjaga higienitas anak supaya terhindar dari penyakit infeksi.

Semoga artikel ini dapat berkontribusi dalam menurunkan prevalensi stunting di Indonesia melalui pemberian pemahaman kepada masyarakat terkait stunting. Satu pertanyaan yang harus bersama-sama masyarakat pikirkan adalah “Kapan Indonesia memiliki prevalensi stunting dibawah 20%?

 

Oleh: Luthfia Dewi (Univ. Diponegoro), Fariza Yulia Kartika Sari (IPB)

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *